BAB I
PENDAHULUAN

Berbagai penyakit paru masih akan menjadi masalah kesehatan masyarakat. Morbiditas penyakit infeksi paru & saluran napas masih amat tinggi (33,2%) dan menjadi salah satu penyebab kematian terpenting (25,4%) dalam masyarakat, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986. Tuberkulosis sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan dan kematian di Indonesia. Berdasarkan SKRT tahun 1992 dikatakan bahwa angka kesakitan TB masih tinggi yang mengakibatkan kematian nomer dua di Indonesia. Dengan meningkatnya jumlah kasus AIDS, maka jumlah penderita TB paru cenderung ikut pula meningkat.

Dengan berkembangnya industrialisasi dan semakin banyaknya kendaraan bermotor, akan menimbulkan masalah polusi udara yang dapat mengganggu kesehatan paru. Penyakit paru obstruktif kronik akan sering timbul. Di samping itu penyakit-penyakit paru yang berhubungan dengan akibat kerja dan lingkungan industri, jumlahnya akan meningkat. Begitu juga penderita asma dapat pula meningkat prevalensinya. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat menyebabkan bertambahnya usia harapan hidup. Keadaan ini diikuti dengan perubahan pola hidup masyarakat, antara lain kebiasaan merokok dll akan meningkat, dengan akibat meningkatnya penyakit kanker paru dan penyakit paru obstruktif kronik.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) yang semula bernama Ikatan Dokter Paru Indonesia (IDPI) yang didirikan pada tahun 1973 adalah organisasi profesi yang menghimpun seluruh dokter spesialis paru di Indonesia. Sejak berdirinya sudah menyelenggarakan kongres 7 (tujuh) kali dan menjelang Kongres VIII-PDPI tahun 1999, tercatat 303 dokter spesialis paru anggota PDPI di seluruh Indonesia, diantaranya 43 orang meninggal dunia.

1.1 Latar Belakang

Kelahiran dan perkembangan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tidak terlepas dari perkembangan pendidikan dokter di Indonesia, yang dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, pertama-tama dikenal sebagai “dokter Jawa”. Lama pendidikan untuk mendapat gelar tersebut hanya 2 tahun, yang pada hakekatnya pekerjaan mereka adalah membantu dokter-dokter Belanda. Melihat kesanggupan “dokter Jawa” tersebut dan mengingat kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan lebih praktis, kemudian pendidikan “dokter Jawa” ini ditingkatkan menjadi 10 tahun, yang kemudian diberi nama “Indische Arts”. Adanya dokter ahli paru pada saat itu, terutama melayani penderita-penderita penyakit tuberkulosis paru, juga semula terdiri hanya dari dokter-dokter Belanda, yang kemudian mereka mendidik asisten-asisten dokter Indonesia menjadi / untuk mendapat suatu keahlian didalam bidang Ilmu Penyakit Paru. Jadi dokter ahli paru yang disebut “Long-Arts” pada zaman penjajahan Belanda itu yang berkebangsaan Indonesia juga sudah ada, antara lain Prof. JC. Kapitan, Dr. Agus, Prof. HR. Suroso dll. Para Longarts ini awalnya dididik oleh para radioloog (dokter spesialis radiologi), karena cara deteksi dan diagnosis utama waktu itu ialah secara fluoroskopi (sinar tembus). Para Longarts ini kemudian mengembangkan diri di bidang keilmuan, khususnya ke arah klinik, sehingga dengan bekal pengetahuan dan keterampilan dasar sebagai dokter ditambah kemampuan di bidang radiologi serta bidang klinik, khususnya masalah penyakit paru, ditambah lagi dengan penguasaan segi-segi kedokteran komunitas, jadilah para Longarts ini suatu keahlian yang cukup komprehensif, khususnya di bidang tuberkulosis.

Dari Uraian diatas terlihat, Ilmu Penyakit Paru / Dokter Ahli Paru pada waktu itu, sudah demikian berkembangnya dan sudah berintegritas dalam banyak macam aspek sosial dan kesehatan masyarakat. Pada waktu itu keadaan penanggulangan penyakit-penyakit paru, khususnya penyakit tuberkulosis paru, yang merupakan penyakit rakyat adalah sama diseluruh Indonesia. Dalam tahun 1908 Pemerintah Hindia Belanda telah membentuk suatu perkumpulan, dinamakan Centrale Vereeniging voor Tuberculose Bestrijding (CVT), yang mendirikan beberapa sanatorium untuk perawatan penderita-penderita tuberkulosis, tetapi usaha preventif yang lebih penting pada waktu itu tidak dijalankan.

Dalam tahun 1933 perkumpulan ini diubah menjadi yayasan, yaitu Stiching Centrale Vereeniging tot Bestrijding der Tuberculose (SCVT), yang bertujuan selain mendirikan sanatorium, juga menjalankan usaha-usaha preventip dan pengobatan seperlunya kepada rakyat. SCVT ini mendapat subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda, disamping sumber-sumber keuangan lain antara lain, pada setiap hari Senin setiap orang menyumbangkan dana sebanyak 1 sen, yang disebut Maandag-cent. SCVT telah berhasil mendirikan 15 sanatorium besar dan kecil dan 20 biro konsultasi (CB) yang tersebar terutama di Pulau Jawa.

Sejak tahun 1937 SCVT telah mempunyai sebuah klinik di Medan yang berbentuk rumah sakit, yang dikenal sebagai Koningin Emma Kliniek, dilengkapi dengan Biro Konsultasi. Pada waktu itu, hal tersebut sudah merupakan suatu kemajuan dibidang pengobatan tuberkulosis, karena sebelumnya pemecahan masalahnya lebih ditekankan pada perawatan penderita di sanatorium. Yang bertugas di klinik tersebut adalah alm. Prof. HR. Suroso. Selama pendudukan Jepang, disambung dengan pecahnya Perang Kemerdekaan, segala usaha SCVT menjadi berantakan, kalau tidak dikatakan hancur binasa.

Tidak banyak diketahui bagaimana situasi pemberantasan tuberkulosis di Indonesia selama revolusi kemerdekaan dan pada saat-saat sesudah proklamasi. Yang mungkin banyak diketahui adalah bahwa salah seorang Jenderal Besar kita, almarhum Jenderal Sudirman adalah salah seorang penderita TB paru.

Pada tanggal 5 Desember 1950 Pemerintah RI mengirim surat kepada Unicef’s Chief of Mission di Jakarta, melaporkan perkembangan TB di Indonesia yang tidak saja tidak menggembirakan, malah sudah mengkhawatirkan. Juga laporan itu diberikan kepada WHO Respresentative di Jakarta. Dalam perundingan-perundingan antara Pemerintah RI, WHO dan Unicef, persetujuan segera dicapai. Hasil dari persetujuan tersebut adalah dibukanya dua pilot project bantuan WHO dan Unicef dalam bulan Oktober 1952, yaitu :

  1. Tuberculosis demonstration and Training Programme
  2. BCG Demonstration and Training Programme

Keduanya dimaksudkan sebagai dasar dan contoh dalam mengembangkan “Tuberculosis Controle” di seluruh Indonesia kelak. Kesinilah tenaga-tenaga medis dan paramedis dari daerah-daerah dikirim untuk dilatih dan dididik dalam pemberantasan TB, supaya sekembalinya ke daerah masing-masing dapat membangun Balai Pemberantasan Penyakit Paru-Paru (BP4) sebagai pusat pemberantasan TB didaerahnya. Maka berdirilah diman-mana BP4 yang berstatus pusat maupun daerah, tingkat propinsi maupun kabupaten. BP4 tingkat propinsi harus dipimpin oleh seorang dokter spesialis paru.

Di Batu (Jawa Timur) ada sebuah Sanatorium dibawah pimpinan Dr. J. Van Joost dan di Mojokerto (Jawa Timur), Dr. Wisse khusus bekerja di bidang paru. Dikedua tempat tersebut selain terapi konservatip, juga dilakukan tindakan-tindakan pembedahan, seperti reseksi tulang iga, drainase kaverne, plumbase, torakoskopi, bronkoskopi, pneumotoraks artifisialis dll.

Dalam perkembangannya SCVT sejak 20 Januari 1956 diubah namanya menjadi Yayasan Pemberaatasan Penyakit Paru-Paru di Indonesia (YP3I), selanjutnya pada tahun 1985 mengadakan fusi dengan Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indoensia (PPTI).

1.2 Maksud dan Tujuan Penulisan

Maksud dan tujuan dari penulisan buku ini antara lain agar bagi generasi penerus, dokter spesialis paru yang muda-muda dapat mengetahui, mempelajari dan mengamati “sejarah”, berdirinya PDPI sejak awal dan perkembangannya, bagaimana para senior kita yang telah tiada maupun yang masih hidup, berjuang dengan gigih “mendirikan” Perhimpunan kita dari tidak dikenal menjadi seperti sekarang ini.

BAB II
PROSES PEMBENTUKAN

Adalah Dr. Rasmin Rasjid yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Bagian Pulmonologi FKUI / Unit Paru RS Persahabatan Jakarta yang memprakarsai atas nama Panitia Pembentukan Perkumpulan untuk Dokter-Dokter Ahli Paru, suatu undangan rapat pada tanggal 11 Agustus 1973 di Ruang Konperensi Unit Paru RS Persahabatan. Dalam surat undangan tersebut telah dilampirkan Rencana Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga perkumpulan yang akan dibentuk dengan pesan para undangan supaya mempelajarinya lebih dulu sebelum mengikuti rapat tersebut dengan menyodorkan rencana AD & ART perhimpunan yang akan datang. Memang Dr Rasmin Rasjid selalu aktif mengorganisasi pertemuan ilmiah dalam pendidikan dokter paru di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan juga giat memperjuangkan terbentuknya Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Entah apa sebabnya, ternyata rapat tanggal 11 Agustus 1973 tersebut dibatalkan dan diundur menjadi 8 September 1973 dengan tempat, waktu dan acara tidak berubah.

Rapat tersebut dihadiri oleh 20 orang dokter ahli penyakit paru, hampir seluruhnya dari Jakarta dan hanya seorang dari Bandung, nama-namanya adalah sebagai berikut :

  1. Dr Rasmin Rasjid
  2. Dr Afloes
  3. Dr AA Noor
  4. Dr J Soegondho
  5. Dr Gunawan Tunggal
  6. Dr Agus
  7. Dr Supandi Moekajin
  8. Dr Tjubianto
  9. Dr Yachya Sumabrata
  10. Dr Wiriadinata (Bandung)
  11. Dr HO Setiono Husodo
  12. Dr G Pradono
  13. Dr Y Hertanu
  14. Dr Erwin Peetosutan
  15. Dr Hadiarto Mangunnegoro
  16. Dr Rasjid Piarah
  17. Dr Nirwan Arief
  18. Dr Wibowo Suryatenggara
  19. Dr. Husaeri Fachrurozi
  20. Dr. Budi Sadjarwa.

Rapat tersebut selain dihadiri oleh 20 orang dokter ahli penyakit paru, juga hadir 2 orang petugas POLRI dari Komseko Cipinang Jakarta Timur dan 2 orang notulis rapat, yaitu nona Ewita dan Zr. Endang S.

Rapat diatas menghasilkan keputusan sebagai berikut :

  1. Pembentukan Perkumpulan dengan nama Ikatan Dokter Paru Indonesia, disingkat IDPI
  2. AD dan ART yang diajukan minta ditanggapi dan saran-saran tertulis dari peserta untuk dipersiapkan dan dibicarakan dalam kongres yang akan datang.
  3. Mempersiapkan Kongres untuk melakukan pemilihan Pengurus Pusat IDPI, yang direncanakan diselenggarakan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah rapat ini, dengan tidak mengurangi arti persiapan yang baik antara lain menghubungi dokter ahli penyakit paru di daerah-daerah, mengusahakan mendapatkan pengakuan IDPI dari PB-IDI dan persiapan teknis kongres yang akan datang.
  4. Dr Rasmin Rasjid terpilih sebagai formatur dan membentuk Pengurus Pusat sementara IDPI sebagai berikut :
  5. Ketua : Dr Rasmin Rasjid
  6. Wakil Ketua : Dr AA Noor
  7. Sekjen : Dr Erwin Peetosutan
  8. Bendahara : Dr Nirwan Arief
  9. Anggota : Dr Hadiarto Mangunnegoro
  10. Alamat sekretariat, atas izin Dr Supandi Moekajin Direktur RS Persahabatan, di Bagian Paru RS Persahabatan Rawamangun Jakarta.
  11. Diputuskan pemungutan uang sumbangan Rp 5.000,- dari yang hadir, yang kemudian akan diperhitungkan sebagai pembayaran umum pangkal keanggotaan. Pengurus Pusat sementara IDPI mengadakan kegiatan sbb:
  • Tanggal 27 September 1973 IDPI mengajukan surat permohonan untuk diterima menjadi anggota Majelis Dokter Ahli dari IDI
  • Oktober 1973 IDPI menghubungi Dr RA Handoyo serta Dr Liunanda dari Malang dan Dr Sukadis dari Yogyakarta yang kebetulan berada di Jakarta, meminta bantuannya untuk menyebarluaskan dan mengusahakan berdirinya Cabang IDPI di Jawa Timur dan Jawa Tengah. hal ini ditempuh karena belum mengetahui, siapa-siapa diluar Jakarta yang seharusnya dihubungi dan cara langsung diatas akan lebih cepat jalannya daripada dengan surat menyurat melalui pos
  • Surat-surat untuk memperkenalkan IDPI juga dikirimkan ke Bandung (Dr Rotinsulu), Padang (Prof Dr Ilyas Dt Batuah dan Dr Slamet Subroto) dan Medan (Prof Dr HR Suroso)
  • Pada bulan Desember 1973 Dr RA Handojo diutus ke Semarang untuk menghubungi dokter-dokter ahli paru di Semarang dan Dr Erwin Peetosutan diutus ke Surabaya untuk menghubungi Prof Dr Sitiawan Kartosoedirdjo dan staff Bagian Penyakit Paru RSUD Dr Soetomo / Universitas Airlangga. Segera IDPI mendapat balasan yang positif dari daerah-daerah, yaitu menyokong pembentukan perkumpulan tersebut.

Dalam bulan Januari 1974 Pengurus Pusat Sementara telah menerima daftar dokter paru dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera (Utara dan Tengah), juga daftar dokter-dokter yang sedang mengikuti pendidikan spesialisasi paru. Jumlahnya pada waktu itu 67 orang, kemungkinan masih ada yang belum terdaftar. Setelah menerima surat-surat tanggapan dari daerah-daerah dan daftar dokter paru diatas, Pengurus Pusat Sementara IDPI berpendapat :

  1. Sebaiknya jangan terburu-buru mengadakan Rapat Lanjutan sesudah Rapat Pertama tanggal 8 September 1973 itu, tanpa mengadakan persiapan-persiapan matang.
  2. Persiapan yang matang bukan hanya diadakan di Jakarta, tetapi juga dari daerah-daerah
  3. Karena itu dianjurkan, agar setiap daerah mengadakan konsolidasi dan membentuk Cabang-cabang IDPI dengan dilengkapi pengurusnya dan diharapkan dapat terlaksana dalam tahun 1974 juga
  4. Bila Pengurus Cabang-cabang IDPI telah terbentuk, maka direncanakan untuk menyelenggarakan Kongres Nasional ke 1 dalam tahun 1975

Kabar gembira dari PB-IDI dengan diterbitkannya SK PB-IDI no. 564/K/I/5/74 tanggal 28 Januari 1974 tentang diterimanya IDPI sebagai anggota MDA-IDI (Majelis Dokter Ahli-IDI), dan menjadi anggota ke 14 dalam lingkungan IDI. Pada tanggal 24 Pebruari 1974 diadakan rapat pertama PB-IDI dan MDA-IDI yang dihadiri oleh Wakil IDPI. Untuk pertama kali pula IDPI diundang menghadiri Muktamar XIV-IDI di Malang pada bulan September 1974, yang diwakili oleh Dr Rasmn Rasjid, Dr Erwin Peetosutan dan Prof Dr Setiawan Kartosoedirdjo dan menghadiri Muker VI-IDI di Cirebon tanggal 30 Oktober 1975, yang diwakili oleh Dr Rasmin Rasjid, Dr Afloes dan Dr Erwin Peetosutan. Dalam sidang ilmiah pada Muker diatas Dr Anwar Jusuf diminta bicara tentang Polusi Udara.

BAB III
KONPERENSI KERJA (KONKER) I - IDPI

Sebelum diselenggarakan Konker I-IDPI di Jakarta pada tanggal 11 – 12 Desember 1975, telah terbentuk Pengurus IDPI Cabang Jakarta yang dirangkap oleh Pengurus Pusat Sementara IDPI, dan terbentuk pula berturut-turut pada tanggal 21 September 1974 Pengurus IDPI Cabang Jawa Timur, Pengurus IDPI Cabang Sumatera Utara, dan Pengurus IDPI Cabang Yogyakarta.

Untuk mengurus segala persiapan dan kelancaran Konker I – IDPI di Jakarta, Pengurus Pusat Sementara IDPI telah membentuk Panitia Konker I – IDPI, yang susunannya sbb:

  1. Ketua : Dr Hadiarto Mangunnegoro
  2. Sekretaris : Dr Wibowo Suryatenggara
  3. Bendahara : Dr Nirwan Arief
  4. Anggota :
    – Dr A Syakur Gani
    – Dr G Pradono

Acara Konker tersebut, terdiri dari :

  1. Pengesahan Sementara AD dan ART
  2. Organisasi Perhimpunan
  3. Pendidikan Keahlian Dokter Paru
  4. Rencana Penyelenggaraan Kongres I – IDPI
  5. 5 dll

Konker tersebut berakhir dengan sukses. Pembukaannya dihadiri oleh Dirjen Yankes Depkes Prof Dr Dradjad D Prawiranegara, Dirjen Binkesmas Depkes Dr Soebekti MPH, Ketua Umum PB-IDI Dr Amino Gondohutomo, Dekan FKUI Prof Dr Mahar Mardjono dan tamu-tamu VIP lainnya. Juga hadir utusan-utusan IDPI Cabang Jakarta, Cabang Jawa Timur, Cabang Yogyakarta dan Cabang Sumatera Utara serta peninjau-peninjau dari Bandung dan Padang. Konker I ini berhasil mensahkan sementara AD dan ART – IDPI serta menetapkan penyelenggaraan Kongres Nasional I – IDPI di Jakarta pada tahun 1977.
Dalam AD – ART IDPI disebutkan tentang keanggotaan sbb:
Keanggotaan IDPI terdiri dari anggota biasa, muda dan luar biasa :

  • Anggota Biasa
    – Semua ahli penyakit paru yang terdaftar pada MDA – IDI (dulu : Panitia Pendaftaran Dokter Ahli = PPDA)
    – Semua ahli penyakit paru yang keahliannya diakui oleh Dewan Penilai Keahlian (DPK)-IDPI
  • Anggota Muda
    – Semua dokter yang telah menjalani pendidikan keahliannya selama 2 tahun di Lembaga Pendidikan Ahli Penyakit Paru
  • Anggota Luar Biasa
    – Sarjana kedokteran, yang banyak menaruh perhatian dalam bidang ilmu penyakit paru.

Pada tanggal 17 Desember 1975 Dr Hadiarto Mangunnegoro mengundurkan diri sebagai anggota Pengurus Pusat Sementara IDPI karena dicalonkan menjadi Ketua PDPI Cabang Jakarta. Hal ini sesuai dengan AD dan ART, bahwa anggota Pengurus Pusat tidak boleh merangkap menjadi anggota Pengurus Cabang. Kedudukannya di Pengurus Pusat digantikan oleh Dr Budi Sadjarwa.

BAB IV
KONGRES I - IDPI

Suksesnya Konker I dalam bulan Desember 1975, hanya 2 tahun setelah berdirinya IDPI, membuat Pengurus Pusat Sementara IDPI makin percaya diri melaksanakan Kongresnya yang pertama. Kongres I ini sangat penting artinya, karena pada hakekatnya setelah kongres inilah Pengurus Pusat mendapatkan restu dari semua anggotanya untuk mengendalikan IDPI. Dan dalam kongres ini pulalah Pengurus Pusat akan mendapatkan pegangan yang teguh dalam melaksanakan tugasnya, yaitu yang berupa Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang telah disetujui oleh semua anggota. Sebetulnya dalam Konker I, semula ditetapkan waktu penyelenggaraan Kongres I IDPI dalam bulan Pebruari 1977 di Jakarta, tetapi sehubungan dengan Pemilihan Umum yang kita hadapi bersama, yang semula diduga akan dilaksanakan bulan Juli 1977, maka Kongres I diundurkan waktunya ke bulan Agustus 1977, agar Kongres dapat dilaksanakan dengan tenang. Setelah Konker I selesai, pada tanggal 16 Pebruari 1976 diterbitkan oelh Pengurus Pusat Sementara IDPI suatu Surat Keputusan tentang Pembentukan Pengurus IDPI Cabang Jakarta dengan SK. No. 103/IDPI/1976 dengan susunan sbb :

  • Ketua : Dr Hadiarto Mangunnegoro
  • Wakil Ketua : Dr J Soegondho
  • Sekretaris I : Dr A Syakur Gani
  • Sekretaris II : Dr Wibowo Suryatenggara
  • Bendahara : Dr Husaeri Fachrurozi
  • Seksi Ilmiah : Dr Sidharma Husada
  • Pembantu Umum : Dr Budi Sadjarwa

Pengurus Pusat menunjuk Dr Hadiarto Mangunnegoro, Ketua PDPI Cabang Jakarta sebagai Ketua Panitia Kongres I – IDPI, bersama Dr A Syakur Gani sebagai Sekretaris, Dr Nirwan Arief sebagai Bendahara dan anggota Panitia lainnya. Tema Kongres adalah “Menggalang Persatuan Dokter Paru Indonesia, Membantu Pemerintah dalam Pembangunan khususnya di Bidang Penanggulangan Penyakit Paru”. Berhubung dengan keadaan keuangan Panitia yang amat minim sekali, demi untuk suksesnya kongres kita yang pertama kali ini, atas prakarsa Dr Soepandi Moekajin (Seksi Dana Panitia) dan Dr A Syakur Gani (Sekretaris I – Panitia), Panitia Kongres I – IDPI telah memberanikan diri untuk mengajukan permohonan bantuan keuangan kepada Ketua Yayasan Harapan Kita, Ibu Tien Soeharto, melalui Sekretaris Yayasan Harapan Kita (Ny Muhono), dan Panitia mendapat kesempatan menghadap Ibu Tien Soeharto di Jalan Cendana 8, Jakarta Pusat, pada tanggal 2 Juli 1977.
Delegasi IDPI diwakili oleh :

  1. Ketua Umum Pengurus Pusat IDPI
  2. Ketua Panitia
  3. Sekretaris I – Panitia
  4. Seksi Dana Panitia

Hasil dari kesempatan menghadap itu ialah :

  1. Panitia mendapat sumbangan satu juta rupiah
  2. Ibu Tien Soeharto bersedia memberikan kata sambutan dan membuka Kongres

Pembukaan kongres dilaksanakan di Hotel President Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1977 dan Sidang-sidang organisasi dan ilmiah dilaksanakan di Hotel Horizon Ancol Jakarta. Kongres tersebut dibuka oleh Ibu Tien Soeharto, suatu hal yang baru pertama kali terjadi di Indonesia, pembukaan suatu Kongres Perhimpunan Profesi dilakukan oleh Ibu Negara. Tamu-tamu yang hadir pada waktu itu ialah Menteri Kesehatan Prof Dr GA Siwabessy, Menteri P dan K Dr Syarif Tayeb, Pj Gubernur KDKI Jakarta Ir Prajogo, Ketua Umum PB – IDI Dr Utojo Sukaton, Rektor UI Prof DR Dr Mahar Mardjono, Ny Ibnu Sutowo dan Ny Muhono SH dan Ketua-ketua Perhimpunan Dokter Ahli. Kongres tersebut berjalan dengan sukses. Salah satu hasil kongres tersebut adalah terpilihnya Dr Rasmin Rasjid sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat IDPI periode 1977 – 1980.

BAB V
ORGANISASI DAN KONSOLIDASI ORGANISASI

V.1 Pengurus Pusat Sementara IDPI
PP Sementara IDPI sesudah Konker I, tidak merangkap lagi menjadi Pengurus IDPI Cabang Jakarta (lihat Pembentukan Pengurus IDPI Cabang Jakarta dengan SK. No.103/IDPI/1976).

V.2 Pertumbuhan Cabang
Sesudah Konker I, IDPI melebarkan sayapnya dengan dibentuknya Cabang baru, yaitu Cabang Sumatera Tengah Selatan (meliputi daerah Riau, Palembang dan Bangka) sedangkan Cabang Jawa Timur membubarkan diri menjadi Cabang Surabaya dan cabang Malang. Sesuai dengan AD dan ART IDPI 5 orang dokter paru dalam 1 propinsi atau gabungan beberapa propinsi dapat membentuk Cabang IDPI. Namun sayang, dokter-dokter paru di daerah Jawa Barat meskipun sudah berjumlah 7 orang, pada waktu itu belum bersedia membentuk Cabang sedangkan Jawa Tengah (Semarang) ingin membentuk Cabang tetapi jumlah dokter parunya masih kurang dari 5 orang

V.3 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Pada rapat mendirikan IDPI tanggal 8 September 1973, AD dan ART yang dimajukan pada waktu itu dianggap sah, sampai di pastikan nanti oleh Kongres. Pada Konker I diadakan perbaikan dan perubahan, tetapi tidak banyak yang bersifat prinsipiil. Di dalam melaksanakan tugasnya PP Sementara IDPI tidak dapat menerima pendapat dari salah satu Cabang, yang menganggap bahwa AD dan ART dan produk Konker lainnya belum dapat dipergunakan sebagai pegangan yang menentukan (definitif), karena belum disahkan oleh Kongres. Perhimpunan harus berjalan atas sesuatu dasar, biarpun dasar itu masih bersifat sementara. Dan Konker dimaksudkan untuk memberikan pegangan pada PP Sementara IDPI dalam melaksanakan tugasnya. Karena itu PP Sementara IDPI menganggap semua tindakan-tindakan yang dilakukannya selama ini sebagai sah.

V.4 Pendidikan
Pada Muktamar XIV – IDI di Malang ditetapkan, bahwa setiap Perkumpulan Dokter Ahli harus mempunyai Dewan Penilai Keahlian (DPK). Sebagai Ketua DPK-IDPI yang pertama ditetapkan Dr Afloes dengan anggota-anggotanya Dr J Soegondho dan Dr A Wiriadinata. Sebagai langkah pertama DPK menentukan syarat-syarat minimum yang harus dipenuhi untuk dapat dididik dan diakui sebagai Dokter Ahli Paru, diantaranya tentang Kurikulum Pendidikan Ahli Penyakit Paru sbb:
Lama pendidikan : 36 bulan

Terbagi dalam pendidikan di Bagian

  • Penyakit Dalam selama : 6 bulan
  • Radiologi selama : 6 bulan
  • Penyakit Paru selama : 24 bulan

ad. a. Selama bekerja di Bagian Penyakit Dalam hendaknya diperhatikan terutama penyakit-penyakit yang :

  • Ada hubungannya dengan penyakit paru
  • Dapat mempengaruhi perkembangan penyakit paru
  • Dapat meluas ke arah paru

Sebagai contoh disebutkan :
– Diabetes Mellitus
– Abses amoeba dari hepar
– Cor pulmonale, dsb

ad. b. Pendidikan di Bagian Radiologi ditekankan pada :

  • Teknik X-Ray
  • Memproses Film X-Ray (teknik kamar gelap)
  • Perlindungan terhadap radiasi
  • Bronkografi dan tomografi
  • Dan lain-lain yang berhubungan dengan toraks

ad. c. Pekerjaan di bagian Paru dibagi dalam perkerjaan :

1. Klinik
Selama bekerja di Klinik hendaknya diperdalam pengetahuan tentang :

1.1. Segmental anatomy dari “bronchial tree” dan paru
1.2. Faal paru
Sedapat mungkin dikerjakan sendiri. Kalau belum mempunyai fasilitas, setidak-tidaknya menilai dan menafsirkan angka-angka yang diperoleh
1.3. Selama bekerja di bangsal dilakukan :

1.3.1. Penelitian perkembangan dan pengobatan penyakit TB paru. Dalam hal ini harus dipelajari epidemiologinya
1.3.2. Penelitian perkembangan dan pengobatan penyakit-penyakit a-spesifik dari bidang, “bronchial tree” dan parenkim paru.
1.3.3. Menentukan dan mempelajari indikasi-indikasi pengobatan operatif.
1.3.4. Mengerjakan tindakan-tindakan dalam keadaan darurat, seperti pada :

– Pneumotoraks ventil
– Hemoptisis masif
– Gangguan ventilasi, dll

1.3.5. Sedapatnya juga dicurahkan perhatian terhadap tumor paru

2. Pekerjaan di Poliklinik terdiri atas :

2.1. Meneliti dan mengobati penderita-penderita paru secara berobat jalan
2.2. Melayani permintaan konsul dari sejawat-sejawat yang lain.

Selama dalam pendidikan hendaknya beberapa kali mengajukan “case-presentation” dan referat. Dan pada akhir pendidikan mengajukan karangan ilmiah mengenai salah satu topik yang pernah dihadapi pada waktu pendidikan. Pada waktu-waktu tertentu kurikulum ini akan ditinjau kembali. Pada Konperensi Kerja-I IDPI di Jakarta, Cabang Jawa Timur mengusulkan, Sarana diagnostik seharusnya terdiri atas :

  1. Alat rontgen
  2. Alat Pneumotoraks
  3. Alat Bronkoskopi
  4. Alat Bronkografi
  5. Alat Biopsi paru dan pleura
  6. Laboratorium untuk pemeriksaan :
    – pH Acid-base balance (bloodgas analysis) dan elektrolit
    – Bakteriologi
    – Fungi
    – Virus
  7.  Alat EKG
  8. Alat Faal Paru
    dan usulan ini diterima oleh Konker tersebut
Scroll to Top